Tawaran Pelatihan Penyusunan Skala & Statistik

Posted in Uncategorized on January 30, 2009 by samianstats

Lama nih gak aktif ngeblog akhirnya kangen juga. Berharap muncul ilham buat bikin tulisan di blog, eh ternyata yang muncul ilham buat pelatihan ato sejenisnya. maklum juga sih knapa ilham bikin tulisan belum bisa muncul, soalnya ada deadline bikin tulisan juga buat buku tentang organizational development sama temen-temen. Kira-kira klo misalnya ini, misalnya lho…. aku bikin pelatihan tentang penyusunan skala (likert, thrustone, semantic differential) ada yang tertarik gak ya? Ato sebaiknya aku bikin pelatihan sehari tentang analisis statistik menggunakan SPSS ya?

QUICK COUNT

Posted in Statistics with tags , on November 14, 2008 by samianstats

Fenomena quick count di pilgub jatim sungguh menarik, mengapa? Karena ternyata hasilnya hanya selisih 1% dari kedua calon di pilgub putaran ke dua ini. Hebohnya lagi salah satu calon yang diunggulkan oleh hasil survey ternyata setelah dilakukan penghitungan manual justru kalah. Kemudian hasil quick count dibawa-bawa untuk meyakinkan masyarakat bahwa telah terjadi kecurangan. Angka statistik dan margin error menjadi suatu kata yang sering didengar masyarakat. Entah mereka tahu maksudnya atau pura-pura tahu dan sok ilmiah karena didukung statistik, lalu grudag-grudug yang bisa berujung kekisruhan di masyarakat. Semoga saja tidak sejauh itu.

Apa sih sebenarnya quick count? Jika dimaknai dari istilahnya maka berarti penghitungan cepat. Secara statistik ini merupakan survey yang dilakukan pada sejumlah sampel yang selanjutnya dari hasil survey tersebut digunakan untuk memprediksi populasi. Siapa populasi dalam quick count? Yang menjadi populasi adalah TPS yang ada di seluruh Jawa Timur yang berjumlah 62.000 TPS. Selanjutnya dari 62.000 TPS yang tersebar di seluruh kabupaten/kota dilakukan sampling untuk memilih TPS yang akan digunakan sebagai sampel. Teknik sampling yang paling cocok digunakan untuk survey semacam ini adalah cluster sampling sehingga seluruh kabupaten/kota ada wakil sebagai sampel yang jumlahnya proporsional dengan jumlah seluruh TPS yang ada di kabupaten/kota. Oleh karena itu sebelum proses survey, lembaga survey harus memiliki data TPS di setiap kabupaten/kota. Selanjutnya dilakukan penghitungan total TPS di Jawa Timur dan peneliti menentukan confidence level dan margin error (confidence interval) yang dikehendaki. Penetapan confidence level dan confidence interval akan terkait dengan penghitungan jumlah sampel yang harus diambil dari populasi. Besaran confidence level sangat terkait untuk kepentingan generalisasi, semakin besar confidence level, maka akan semakin kecil kemungkinan terjadi kesalahan tipe 1 atau tipe α pada saat generalisasi. Sedangkan confidence interval ini terkait dengan selisih hasil prediksi dengan kenyataan di populasi. Suatu misal hasil survey memprediksi perolehan calon A adalah 51%, dengan confidence interval yang ditetapkan sebelum survey 3% maka kenyataan setelah dilakukan penghitungan manual pada seluruh TPS atau seluruh populasi maka bisa jadi calon A mendapat suara 51% – 3% = 48% sampai dengan 51% + 3% = 54%. Lalu bagaimana bila selisih dari hasil survey kurang dari 1%? Apabila itu yang terjadi maka fenomena yang terjadi di Jawa Timur memang bisa saja terjadi dan itu wajar, kecuali selisih kedua calon cukup besar.

Ketepatan prediksi juga terkait dengan berapa jumlah sampel yang diambil, apakah sudah representatif untuk mewakili populasi? Dengan populasi 62.000 TPS, confidence level 99% dan confidence interval 3% maka dengan menggunakan bantuan sample size calculator http://www.surveysystem.com/sscalc.htm sampel yang harus diambil adalah 1795 TPS. Lalu bagaimana kalau yang diambil sebagai sampel hanya 400 TPS? Apakah dengan sampel segitu confidence interval masih tetap 3%? Tentu saja tidak, dengan kondisi seperti itu confidence interval-nya menjadi 6,43%. Sehingga apabila calon A berdasarkan hasil survey diprediksi mendapatkan 51% maka kenyataannya si calon A akan mendapatkan 44,57% sampai dengan 57,43%. Interval yang terlalu panjang tentunya. Analoginya, seandainya ada orang bermain tebak angka yang keluar dari dadu yang terdiri dari angka 1 sampai dengan 6 dengan survey seperti di atas bisanya orang tersebut hanya menebak yang keluar adalah angka 2 sampai 5. Bagaimana sikap kita seandainya kita yang menjadi bandarnya? Ya tentunya tebakan tersebut banyak tepatnya, tapi bukannya bermain dadu mengharapkan tebakan satu angka secara tepat baru dikatakan menang?

DATA SKALA LIKERT

Posted in Measurement with tags , on October 31, 2008 by samianstats

Ketika kita belajar tentang skala likert, kita mengenal penskalaan respon misalnya Sangat Setuju – Setuju – Netral – Tidak Setuju – Sangat Tidak Setuju. Penskalaan ini apabila dikaitkan dengan jenis data yang dihasilkan adalah data Ordinal. Sekedar mengingatkan bahwa jenis data ada empat NOIR (Nominal, Ordinal, Interval, Rasio) keempat jenis data ini memiliki ciri sebagai berikut:

  • Nominal    : Bersifat mengklasifikasikan saja, tanpa ada jenjang diantara klasifikasi. Angka hanya bermakna sebagai variasi jenis tanpa bermakna tingkatan. Missal: laki-laki – perempuan, 1 untuk kode laki-laki dan 2 untuk kode perempuan, angka 1 dan 2 bukan merupakan tingkatan, yang artinya 2 bukan berarti lebih tinggi daripada 1. Data jenis ini belum bisa dilakukan operasi matematis.
  • Ordinal    : Bersifat mengklasifikasikan, dan klasifikasi tersebut sudah merupakan tingkatan. Sehingga dengan data ordinal ini angka sudah menunjukkan mana yg lebih besar dan mana yang lebih kecil. Tetapi masing-masing klasifikasi yang berupa tingkatan tersebut tidak memiliki jarak yang sama. Missal : juara dalam perlombaan balap sepeda. Ada juara 1 juara 2 dan juara  3. Angka 1, 2, 3 tersebut sudah memiliki makna tingkatan, bahwa juara 1 lebih cepat daripada juara 2 dan juara 3. Juara 2 lebih cepat daripada juara 3. Juara 1 waktu tempuahnya 5 menit, Juara 2 waktu tempuhnya 7 menit dan juara 3 waktu tempuhnya 12 menit. Yang dimaksud tidak memiliki jarak yang sama adalah antara juara 1 dan 2 selisih waktunya 2 menit, antara juara 2 dan juara 3 selisih waktunya 5 menit. Dengan demikian kita masih belum bisa menggunakan operasi matematis, karena angka 1, 2 dan 3 itu hanya berupa ranking saja.
  • Interval    : bersifat mengklasifikasikan, dan klasifikasi tersebut sudah merupakan tingkatan yang masing-masing tingkatan memiliki jarak yang sama. Misal: nomor sepatu. Sepatu dengan nomor 39, 40, 41, 42. Angka nomor sepatu tersebut sudah bermakna tingkatan bahwa nomor 42 lebih tinggi daripada nomor 41 dan seterusnya. Pada data interval masing-masing tingkatan tersebut memiliki jarak yang sama. Sepatu nomor 39 memiliki panjang 30cm, nomor 40 memiliki panjang 31cm, nomor 41 memiliki panjang 32cm, nomor 42 memiliki panjang 33cm. dengan contoh tersebut berarti setiap tingkatan memiliki interval 1cm, interval inilah yang dimaksud dengan jarak yang sama di masing-masing tingkatan. Dengan adanya interval yang kita ketahui tersebut, kita bisa memaknai bahwa nomor sepatu 42 adalah nomor 39 ditambah 3cm, tapi kita belum bisa memaknai bahwa nomor 42 adalah nomor 39 dikali 3. Dengan demikian kita bisa menyimpulkan bahwa data interval sudah bisa dikenai operasi matematis penjumlahan dan pengurangan, namun belum bisa dikenai operasi matematis perkalian dan pembagian. Hal ini karena data interval tidak memiliki angka nol mutlak.
  • Rasio    : ini adalah data dengan tingkatan yang tertinggi karena telah memiliki angka nol mutlak. Missal ukuran panjang atau tinggi, dan ukuran berat. Berat 0 kg berarti memang tidak ada massa yang ditimbang. Berat 3 kg lebih besar daripada berat 2 kg, berat 2 kg lebih besar daripada berat 1 kg. Sehingga berdasarkan contoh tersebut kita bisa memaknai bahwa 3 kg adalah 2kg + 1kg atau 3kg adalah 3x1kg. Dengan demikian data rasio sudah bisa dikenai semua operasi matematis: +, -, x, dan :

Kembali ke persoalan skala likert, mengapa data likert termasuk data ordinal? Sebenarnya alasannya gampang. Sangat setuju pasti lebih tinggi daripada yang setuju. Yang setuju pasti lebih tinggi daripada yang netral, yang netral pasti lebih tinggi daripada yang tidak setuju, sedangkan yang tidak setuju pasti lebih tinggi daripada yang sangat tidak setuju. Namun jarak antara sangat setuju ke setuju dan dari setuju ke netral dan seterusnya tentunya tidak sama, oleh karena itu data yang dihasilkan oleh skala likert adalah data ordinal. Sedangkan cara scoring bahwa Sangat setuju 5, setuju 4, netral 3, tidak setuju 2 dan sangat tidak setuju 1 hanya merupakan kode saja untuk mengetahui mana yang lebih tinggi dan mana yang lebih rendah. Dari cara scoring tersebut kita tidak bisa memaknai bahwa sangat setuju adalah netral ditambah setuju.  Tapi permasalahannya sesuai dengan ciri-ciri dari data ordinal, bahwa data ordinal belum bisa dikenai operasi matematis, mengapa pada saat scoring dari skala likert kita menjumlahkan skor di tiap-tiap item padahal jelas-jelas skala data ordinal tidak bisa dijumlahkan? Lalu ketika kita melakukan seleksi item kita mengkorelasikan skor item dengan skor total dengan korelasi product moment Pearson? Padahal sebagaimana kita ketahui rumus korelasi Pearson ada unsur penjumlahan, perkalian, dan pembagian?
Silahkan anda renungkan ???? kalau sudah mendapat pencerahan silahkan berbagi….
Salam pembelajaran!

SPSS untuk Uji Hipotesis Asosiatif

Posted in Statistics with tags , , , , , on October 17, 2008 by samianstats

Setelah kita menguasai konsep dasar tentang uji hipotesis asosiatif yang didalamnya ada berbagai teknik korelasi dan teknik regresi, maka anda dapat mulai belajar bagaimana menggunakan teknik statistik tersebut dengan bantuan software agar proses penghitungannya dapat jauh lebih singkat. Pada bahasan ini, anda akan dipandu untuk latihan mengoperasikan SPSS untuk analisis korelasi, korelasi partial, korelasi ganda, regresi sederhana dan regresi ganda. Selanjutnya pada bahasan ini juga akan dipaparkan bagaimana menginterpretasikan hasil atau output dari analisis korelasional dengan menggunakan SPSS.

Baca selengkapnya…

Teknik Statistik Komparatif

Posted in Statistics with tags , , , , , , , , , , , on October 13, 2008 by samianstats

Sebagai lanjutan dari posting tentang statistik inferensi untuk uji hipotesis korelasional, maka posting berikutnya ini adalah tentang teknik statistik inferensi untuk hipotesis komparatif atau uji perbedaan. Beberapa teknik yang saya sajikan dalam tulisan ini adalah tentang teknik t-test yang didalamnya ada one sample t-test, paired sample t-test, dan independent sample t-test. Selanjutnya akan dikaji juga teknik analisis varians atau sering dikenal dengan Anava baik untuk Anava Satu Jalur, Anava Dua Jalur dan Anava Tiga Jalur. Untuk melengkapi penguasaan teknik statistik anda, anda juga dapat mempelajari teknik statistik analisis kovarians atau sering dikenal dengan Anacova.